Selasa, 18 Oktober 2011

PELAJARAN MATEMATIKA MENGAPA TIDAK DISUKAI?

      Para pelajar mulai tingkat SD, SMP sampai SMA bila ditanya mata pelajaran apa yang tersulit, sudah pasti jawabnya matematika. Itu jawaban anak sekolah masa kini di mana pun, tidak terkecuali di kota besar sekalipun.
      Buktinya, pada ujian nasional kemarin, kita menyaksikan anak-anak sekolahan di kota besar pun yang cukup fasilitas dan pengajarnya, banyak pelajar yang berteriak-teriak histeris, karena tidak lulus. Padahal, itu di kota,bagaimana dengan pelajar di daerah-daerah kecamatan? Jangan tanya matematika, akh! Itu sesuatu yang menakutkan, susah untuk dikuasai  dan puyeeeeeng!
     Terus terang penulis sendiri tidak suka dengan pelajaran yang satu ini, namun penulis ingin mencoba objectif. Penulis mengakui bahwa matematika sangat penting bagi manusia/kehidupan dan mesti dikuasai oleh anak-anak sekolah, apalagi yang punya cita-cita tinggi, ekstrimnya mungkin wajib.
      Sadar atau tidak, dengan matematika banyak yang tercipta. Namun yang menarik dan istimewa di mata penulis (yang awam matematika), pelajaran matematika telah membentuk karakter manusia. 
       Mengapa? Orang-orang yang pintar atau mampu mengerjakan soal-soal matematika setelah menyelesaikan pendidikkannya dan ada di masyarakat, mereka lebih bisa berpikir logis, praktis, cermat, mampu memutuskan suatu masalah dengan cepat dan tepat. Mudah menemukan inti persoalan karena tidak suka berputar-putar/berbelit-belit. Umumnya mereka juga bisa masuk perguruan tinggi bermutu dan banyak di antaranya ada di tempat/jabatan yang terhormat di masyarakat.
         Hingga pernah suatu kali penulis punya asumsi sebenarnya bila orang ingin sukses di masa depan, kuasailah dulu ilmu agama, matematika, fisika dan kimia di sekolah. Sayangnya matematika tidak cukup dicintai di negeri ini. Tak heran bila iptek kita kedodoran dan kalah oleh negara lain.  
           Apabila matematikanya saja payah maka fisika dan kimia juga tentu susah. Sebab, kedua ilmu itu pun tak lepas dari perhitungan-perhitungan dan rumus-rumus.
Mengapa tidak disukai? 
           Mengapa matematika tidak di sukai, menurut penulis disebabkan beberapa hal. Pertama, harus ditelusuri dari awal dulu betapa pelajaran matematika sejak mulai masuk sekolah dasar sudah dipandang sebelah mata oleh murid-murid sebagai pelajaran yang rumit, sulit dan dijauhi.
         Jangan heran bila sampai jenjang SMP kemudian SMA pun si anak akan takut/menemui kesulitan bila berhadapan dengan pelajaran matematika. Karena, isi matematika akan semakin kompleks, banyak, luas, rumit selain berhubungan terus menerus dengan pelajaran yang diajarkan sebelumnya.
         Kedua, diperparah lagi ada sugesti umum di kalangan pelajar SMP dan SMA dari zaman penulis sekolah. Walaupun tidak semua, guru-guru matematika sepertinya "seram", kaku, tak ada humornya, malah suka dicap, the killer karena galakdan suka marah-marah.
         Dua masalah diatas kiranya perlu mendapat perhatian serius. Sejak dini atau mulai masuk pendidikan dasar, anak-anak harus diajak mencintai matematika seperti halnya mencintai menggambar, membaca, menyanyi atau olah-raga. Ini tentu tugas para ahli matematika yang ingin melihat negeri ini maju untuk memikirkannya, supaya matematika dicintai anak usia 6 - 12 tahun.
        Agar matematika lebih menarik, gambar-gambar di buku panduan sebaiknya lebih banyak dan lebih warna-warni. Kalau perlu dilengkapi alat peraga nyata, misalnya bagaimana bentuk kubus, segi tiga, bujur sangkar, trapesium. Gambar-gambar itu tidak hanya tercantum di buku panduan agar anak-anak seusia SD lebih tertarik. Mengingat, selama ini peljaran matematika dianggap rumit dan sulit penuh simbol A,B,C,D dan seterusnya, angka-angka dan rumus-rumus saja.
        Masalah opini para pelajar SMP dan SMA bahwa matematika itu sulit harus menjadi kewajiban para guru matematika untuk menghilangkan kesan itu. Sebab, boleh jadi pelajaran matematika yang terkenal sulit itu bisa ditundukan oleh para pelajar, selain oleh kerja keras pelajar itu dengan mau menghapal sendiri di rumah, tetapi juga ditambah adanya hubungan suasana harmonis antara anak didik dan gurunya selama proses belajar mengajar di kelas. ***  (oleh :Asep Sulaepin)  artikel ini telah diterbitkan di surat-khabar 'Pikiran-Rakyat' 25 Juli 2006.